Adidas: Lebih dari Sekadar Sepatu, Kekuatan Branding & Budaya yang Tak Kalahkan

Adidas dan Nike telah lama mendominasi industri olahraga dan fashion global, namun daya magnet Adidas terhadap kultur dan tren kerap terasa lebih membekas dan melekat dengan fenomena FOMO (Fear of Missing Out) di kalangan anak muda dan pecinta sneaker.

Aryo Meidianto

7/30/20251 min read

a woman walking down a city street in the rain
a woman walking down a city street in the rain

Adidas dan Nike telah lama mendominasi industri olahraga dan fashion global, namun daya magnet Adidas terhadap kultur dan tren kerap terasa lebih membekas dan melekat dengan fenomena FOMO (Fear of Missing Out) di kalangan anak muda dan pecinta sneaker. Sementara Nike konsisten identik dengan semangat pencapaian personal, terutama lewat ikon-ikonnya seperti Michael Jordan atau Serena Williams yang menghadirkan narasi "kamu juga bisa menjadi juara". Adidas bermain di ranah pemasaran yang berbeda, membangun kekuatan melalui kolaborasi lintas disiplin; musik, fashion, hingga seniman budaya urban.

Nike memang sangat sukses dengan strategi personalisasi yang menyentuh aspek emosional konsumennya. Personalisasi berbasis data serta kampanye inspiratif “Just Do It” membuat pelanggan merasa spesial dan terdorong untuk terus mencapai target pribadi, baik dalam olahraga, hidup, maupun karir. Namun, pendekatan ini menjadikan Nike sangat identik dengan dunia sport dan pencapaian individu, menjual mimpi bahwa setiap orang bisa menjadi juara berikutnya.

Di sisi lain, Adidas adalah merek yang konsisten menanamkan dirinya sebagai bagian dari gaya hidup, subkultur, dan komunitas. Adidas aktif berkolaborasi dengan musisi, desainer, dan seniman; contohnya, kemitraan revolusioner bersama Kanye West yang melahirkan lini Yeezy pada 2015, sebuah tonggak yang mengubah sneaker menjadi benda ikonik yang wajib dimiliki demi eksistensi sosial. Tak hanya soal Kanye, Adidas juga menggandeng band seperti Korn dan kolaborasi dengan fashion influencer di kota-kota besar untuk menciptakan sinergi antara musik, streetwear, nostalgia, dan kebebasan berekspresi.

Branding Adidas lebih terasa sebagai “pengalaman bersama”, bukan sekadar produk. Desain sneaker yang selalu hadir dalam gelombang subkultur baru (Superstar, Stan Smith, Yeezy), narasi orisinalitas, hingga cara melibatkan komunitas membuat tiap rilis terbaru terasa eksklusif dan membangkitkan FOMO. Sebaliknya, Nike tetap perkasa secara nilai merek, tetapi daya magnet merek Adidas lebih mudah memicu gerakan budaya dan tren kolektif.

Kolaborasi Adidas bukan sekadar gimmick, melainkan jalan masuk agar penggemarnya merasa menjadi bagian dari gerakan budaya yang sedang berlangsung. Setiap sneaker atau campaign selalu membawa nilai keaslian, merayakan perbedaan, dan mendukung kreativitas. Inilah yang menjadikan Adidas kuat, bukan hanya menjual sepatu, tapi mempertemukan musik, fesyen, dan semangat perlawanan anak muda dalam satu karya budaya yang bisa dipakai sehari-hari.