Bisnis Forwarding Melonjak Tajam, Manfaatkan Perang Tarif China-AS untuk Meraih Untung
Ketegangan perang tarif antara Amerika Serikat dan China yang semakin memanas pada 2025 membuka peluang bisnis baru yang potensial di tengah gejolak global tersebut. Menurut laporan dari World Trade Organization (WTO), tarif impor antara kedua negara telah meningkat rata-rata sebesar 15% sejak awal 2023, menyebabkan biaya logistik global melonjak hingga 30%.
Aryo Meidianto
4/25/20252 min read


Ketegangan perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China yang semakin memanas pada 2025 membuka peluang bisnis baru yang potensial di tengah gejolak global tersebut. Menurut laporan dari World Trade Organization (WTO), tarif impor antara kedua negara telah meningkat rata-rata sebesar 15% sejak awal 2023, menyebabkan biaya logistik global melonjak hingga 30%. Dalam situasi ini, sektor forwarding 1 atau jasa pengiriman dan logistik menjadi sangat strategis. Ketika tarif impor meningkat dan rantai pasok global terganggu, perusahaan-perusahaan di berbagai sektor berusaha mencari solusi logistik yang efisien dan fleksibel untuk menghindari biaya tinggi dan hambatan perdagangan.
Perang tarif yang menyebabkan kenaikan biaya logistik hingga tiga sampai lima kali lipat seperti yang pernah dialami selama pandemi COVID-19, memaksa pelaku usaha untuk mencari alternatif pengiriman yang lebih hemat dan cepat. Data dari International Air Transport Association (IATA) menunjukkan bahwa biaya pengiriman udara melonjak 250% pada puncak pandemi, dan meskipun kini mulai menurun, ketidakpastian tarif membuat forwarder semakin dibutuhkan untuk mengelola pengiriman secara optimal. Forwarding tidak hanya mengatur pengiriman barang, tetapi juga mengelola rantai pasok secara strategis agar barang dapat melewati berbagai hambatan tarif dan regulasi dengan biaya seminimal mungkin. Dengan keahlian dalam mengoptimalkan rute pengiriman dan negosiasi dengan berbagai pihak pelayaran dan bea cukai, perusahaan forwarding mampu menjadi mitra strategis yang membantu bisnis bertahan dan berkembang di tengah ketidakpastian perdagangan global.
Selain itu, perang tarif juga mendorong relokasi investasi dari China ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Data dari UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) mencatat bahwa pada 2024 terjadi peningkatan investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia sebesar 12% dibandingkan tahun sebelumnya, yang sebagian besar berasal dari perusahaan yang memindahkan pabrik dari China untuk menghindari tarif tinggi. Hal ini membuka peluang besar bagi jasa forwarding lokal untuk menangani peningkatan volume ekspor-impor yang terjadi akibat perpindahan pabrik dan produksi. Indonesia, dengan pasar domestik yang besar dan sumber daya manusia yang melimpah, berpotensi menjadi hub manufaktur baru yang menarik bagi investor asing. Namun, untuk memaksimalkan peluang ini, sektor forwarding harus mampu meningkatkan kapasitas, efisiensi, dan integrasi teknologi agar dapat memenuhi kebutuhan logistik yang semakin kompleks dan dinamis.
Dalam konteks ini, forwarder yang mampu menawarkan layanan end-to-end, mulai dari pengurusan dokumen, pengaturan transportasi multimoda, hingga manajemen risiko dan kepatuhan regulasi, akan menjadi pilihan utama para pelaku bisnis. Mereka harus mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan kebijakan tarif dan kondisi pasar, serta memberikan solusi yang transparan dan terjangkau. Inovasi digital dalam manajemen rantai pasok, seperti penggunaan platform berbasis Artificial Intelligence (AI) dan blockchain 2, juga menjadi kunci untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi layanan forwarding di tengah tekanan perang tarif.
Secara keseluruhan, meskipun perang tarif AS-China membawa banyak tantangan bagi perdagangan global, bisnis forwarding muncul sebagai sektor yang memiliki potensi besar untuk tumbuh dan berkontribusi positif. Dengan peran strategisnya dalam menghubungkan produsen, eksportir, dan pasar global, forwarding bukan hanya sekadar jasa pengiriman, tetapi juga kunci dalam menjaga kelangsungan dan daya saing bisnis di era ketidakpastian geopolitik dan ekonomi. Indonesia, sebagai negara yang tengah berupaya menarik investasi dan memperkuat posisi dalam rantai pasok global, harus memanfaatkan momentum ini dengan mengembangkan sektor forwarding yang profesional, inovatif, dan adaptif.
1 Forwarding" dalam konteks bisnis, khususnya dalam logistik dan transportasi, merujuk pada layanan yang mengatur pengiriman barang dari satu tempat ke tempat lain, baik dalam negeri maupun internasional. Layanan ini mencakup berbagai aspek, seperti pengurusan dokumen, pemilihan moda transportasi, pemesanan ruang angkut, dan pengurusan bea cukai
2 Blockchain merupakan suatu sistem teknologi dibalik cryptocurrency yang berfungsi untuk mengatur dan mengelola data transaksi mata uang digital atau cryptocurrency seperti Bitcoin.
Ilustrasi dibuat dengan menggunakan aplikasi AI Freepik - prompt by Bizsense