Bisnis Pecah Kongsi di Indonesia
Fenomena pecah kongsi dalam bisnis Indonesia bukan hal baru, terutama di sektor kuliner dan ritel yang tumbuh pesat. Pecah kongsi terjadi ketika para pendiri atau mitra bisnis memutuskan untuk berpisah dan menjalankan usaha secara terpisah, seringkali akibat perbedaan visi, manajemen, atau konflik personal. Sebagai contoh adalah bisnis kuliner Ayam Goreng Suharti dan Holycow Steak.
Aryo Meidianto
7/3/20252 min read


Fenomena pecah kongsi dalam bisnis Indonesia bukan hal baru, terutama di sektor kuliner dan ritel yang tumbuh pesat. Pecah kongsi terjadi ketika para pendiri atau mitra bisnis memutuskan untuk berpisah dan menjalankan usaha secara terpisah, seringkali akibat perbedaan visi, manajemen, atau konflik personal. Meski terdengar negatif, pecah kongsi bisa menjadi strategi adaptasi yang memungkinkan masing-masing pihak fokus mengembangkan bisnis sesuai arah yang diinginkan, sekaligus membuka peluang pasar yang lebih luas melalui diversifikasi merek.
Contoh paling terkenal adalah kisah Ayam Goreng Ny. Suharti. Awalnya, bisnis ayam goreng ini dibangun oleh pasangan suami istri dengan satu merek yang kuat. Namun, setelah konflik rumah tangga dan perpecahan kepemilikan, muncul dua merek berbeda: “Ayam Goreng Ny. Suharti” dan “Ayam Goreng Suharti” dengan logo dan pengelolaan yang terpisah. Meski demikian, kedua merek tetap eksis dan memiliki pasar masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa pecah kongsi tidak selalu menghancurkan bisnis, melainkan bisa menjadi pemicu inovasi dan persaingan sehat yang memacu kualitas produk dan layanan.
Strategi pecah kongsi seringkali dilakukan untuk menghindari konflik berkepanjangan yang dapat merusak reputasi dan operasional bisnis. Dengan memisahkan jalur usaha, masing-masing pihak dapat mengelola bisnis secara mandiri, menentukan strategi pemasaran, dan mengembangkan produk sesuai target pasar yang berbeda. Contoh lain seperti Tempo Gelato dan HOLLYCOW yang pecah menjadi Steakholycow: Holycow! Steakhouse by Chef Afit dan Steak Hotel by HOLYCOW! juga menunjukkan bagaimana pecah kongsi bisa berujung pada munculnya brand baru yang tetap mempertahankan nilai dan kualitas awal, sekaligus memberikan pilihan lebih banyak bagi konsumen.
Namun, pecah kongsi juga membawa risiko. Salah satunya adalah potensi kebingungan konsumen akibat kemiripan nama atau produk yang beredar di pasar, yang bisa menurunkan brand equity. Selain itu, konflik hukum terkait hak merek dagang dan kepemilikan intelektual sering muncul, seperti yang dialami Ayam Goreng Ny. Suharti, di mana pendiri asli kehilangan hak atas merek yang semula dibangun. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pengelolaan legalitas yang cermat sejak awal kemitraan bisnis.
Dari sisi keuntungan, pecah kongsi memungkinkan masing-masing pihak untuk lebih fleksibel dan fokus pada pengembangan bisnis sesuai kekuatan dan visi mereka. Ini juga membuka peluang kolaborasi baru dan inovasi produk yang mungkin sulit diwujudkan dalam struktur bisnis yang kaku. Namun, kerugian utama adalah potensi fragmentasi pasar dan biaya tambahan untuk membangun merek baru serta mempertahankan loyalitas pelanggan.
Dalam konteks bisnis Indonesia yang dinamis, pecah kongsi menjadi bagian dari evolusi usaha yang wajar. Kisah-kisah seperti Ayam Goreng Ny. Suharti, Tan Ek Tjoan, Tempo Gelato, dan Holycow memberikan pelajaran berharga bahwa meski pecah kongsi membawa tantangan, dengan strategi yang tepat dan pengelolaan yang baik, bisnis tetap bisa bertahan bahkan tumbuh lebih kuat. Kunci utamanya adalah kesiapan menghadapi perubahan, pengelolaan merek yang profesional, serta komunikasi yang jelas antara para pemilik usaha.
Dengan demikian, pecah kongsi bukan sekadar perpisahan, melainkan sebuah strategi bisnis yang dapat membuka peluang baru sekaligus menguji ketangguhan dan kreativitas pelaku usaha di pasar Indonesia yang kompetitif.
Ilustrasi dibuat dengan menggunakan aplikasi AI