Demam Emas di Tengah Krisis: Pelindung Nilai Uang atau Jerat FOMO?

Awal tahun 2025, harga emas di Indonesia berada di angka Rp1,4 juta per gram. Namun, dalam waktu empat bulan, harga tersebut melonjak hampir menyentuh Rp1,9 juta per gram, lonjakan yang tidak hanya memicu euforia, tetapi juga kepanikan di kalangan masyarakat.

Aryo Meidianto

4/15/20252 min read

Awal tahun 2025, harga emas di Indonesia berada di angka Rp1,4 juta per gram. Namun, dalam waktu empat bulan, harga tersebut melonjak hampir menyentuh Rp1,9 juta per gram, lonjakan yang tidak hanya memicu euforia, tetapi juga kepanikan di kalangan masyarakat. Banyak orang berbondong-bondong membeli emas, seolah-olah logam mulia ini adalah tiket terakhir untuk menyelamatkan diri dari kehancuran finansial. Namun, pertanyaannya adalah: apakah demam emas ini merupakan respons rasional terhadap kondisi ekonomi, atau justru cerminan keputusasaan di tengah ketidakpastian?

Di balik lonjakan permintaan emas, terdapat ketakutan yang nyata akan nilai uang yang tergerus. Rupiah yang melemah, inflasi yang terus mengintai, dan ketegangan geopolitik global membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada uang kertas. Emas, sebagai aset safe haven, dianggap sebagai benteng terakhir untuk melindungi kekayaan. "Daripada uang di bank tergerus inflasi, mending beli emas," begitu logika yang berkembang di kalangan banyak orang. Namun, di balik keputusan tersebut, ada pula sentimen FOMO (Fear of Missing Out) yang mendorong tindakan impulsif. Melihat tetangga atau teman kantor berlomba-lomba membeli emas, rasa takut ketinggalan pun mengalahkan pertimbangan logis.

Dengan harga emas yang terus melonjak, muncul pertanyaan: apakah saat ini adalah waktu yang tepat untuk berinvestasi dalam emas? Prinsip dasarnya adalah bahwa emas bisa dibeli kapan saja, namun dengan dua syarat penting. Pertama, gunakan uang dingin; yaitu dana yang memang dialokasikan khusus untuk investasi dan bukan dana darurat atau hasil utang. Membeli emas karena panik atau mengikuti tren hanya akan menjebak Anda dalam siklus jual-beli emosional yang merugikan. Kedua, sempatkan untuk menyimpan emas dalam jangka panjang, minimal lima tahun. Emas bukanlah skema cepat kaya; nilainya cenderung naik secara bertahap, dan keuntungan sejati baru akan terasa jika Anda sabar menahannya.

Namun, satu hal yang sering terlupakan adalah spread, selisih antara harga beli dan harga jual emas. Misalnya, Anda mungkin membeli emas dengan harga Rp1,9 juta per gram di awal tahun, tetapi saat ingin menjualnya kembali, harganya hanya Rp1,4 juta per gram. Selisih Rp500 ribu per gram itu hilang begitu saja. Spread adalah biaya tersembunyi yang dapat menggerus keuntungan dan bahkan membuat Anda merugi jika terburu-buru menjualnya. Inilah sebabnya mengapa emas lebih cocok untuk penyimpanan jangka panjang: semakin lama Anda menahan emas tersebut, semakin kecil dampak spread terhadap keuntungan bersih.

Di tengah demam emas yang membutakan ini, penting untuk diingat bahwa logam mulia ini ibarat perisai; ia dapat melindungi namun tidak bisa menghalau semua serangan inflasi. Bijaklah dalam memilih waktu dan cara berinvestasi. Jangan sampai niat menyelamatkan "nilai uang" justru berujung pada jerat kerugian karena terlena oleh euforia sesaat. Dalam dunia investasi, kesabaran dan pengetahuan selalu lebih berharga daripada kecepatan.

Bizsense melihat tren prediksi harga emas di tahun 2025 yang diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai US$3.000 per ons, investasi dalam emas bisa menjadi langkah strategis jika dilakukan dengan bijaksana dan penuh pertimbangan. Dengan memahami dinamika pasar dan faktor-faktor pendorongnya, seperti inflasi global dan ketegangan geopolitik, investor dapat mengambil keputusan yang lebih cerdas dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi saat ini.


Ilustrasi logam mulia dibuat dengan menggunakan AI - prompt by Bizsense