Dilema Royalti Musik Indonesia: Konflik Bisnis AKSI dan Tantangan Transparansi
Dalam industri musik Indonesia, sengketa royalti kembali memanas dengan pertarungan antara Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) yang dipimpin oleh Ahmad Dhani dan kelompok musisi lain terkait mekanisme pembayaran royalti musik Indonesia dan izin membawakan lagu.
Aryo Meidianto
4/23/20252 min read


Dalam industri musik Indonesia, sengketa royalti kembali memanas dengan pertarungan antara Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) yang dipimpin oleh Ahmad Dhani dan kelompok musisi lain terkait mekanisme pembayaran royalti dan izin membawakan lagu. Perseteruan ini bukan sekadar soal hak cipta, melainkan juga menyentuh aspek bisnis yang krusial, termasuk transparansi distribusi royalti, model bisnis lembaga pengelola royalti, serta bagaimana kebijakan ini memengaruhi ekosistem industri musik secara keseluruhan.
Ahmad Dhani dan AKSI memperjuangkan sistem direct license, yang mengharuskan penyanyi meminta izin langsung kepada pencipta lagu dan membayar royalti secara langsung. Mereka menilai model ini lebih adil dan efisien dibandingkan sistem lama yang melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), yang selama ini dianggap kurang transparan dan berpotensi merugikan pencipta lagu. Dari sisi bisnis, model direct license bisa mengubah alur pendapatan royalti, memperpendek rantai distribusi, dan meningkatkan pendapatan langsung bagi pencipta karya. Namun, perubahan ini juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan menambah kompleksitas administrasi bagi para pelaku industri.
Sementara itu, kubu VISI dan sebagian pelaku industri musik menolak gagasan ini karena dianggap bertentangan dengan regulasi yang ada dan dapat melemahkan peran LMK sebagai mediator resmi royalti. Mereka mengkhawatirkan bahwa perubahan sistem ini bisa mengganggu kelancaran bisnis pertunjukan musik dan menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan semua pihak.
Di balik perdebatan ini, terdapat dinamika bisnis yang lebih besar: bagaimana memastikan aliran pendapatan royalti yang adil dan transparan tanpa menghambat pertumbuhan industri musik yang sangat bergantung pada penggunaan karya cipta dalam berbagai pertunjukan dan produksi. Sistem royalti yang efektif tidak hanya melindungi hak pencipta, tetapi juga menciptakan iklim bisnis yang sehat dan berkelanjutan bagi semua pelaku industri, mulai dari musisi, produser, hingga promotor.
Persoalan izin membawakan lagu juga menjadi titik krusial dalam bisnis musik. AKSI menegaskan bahwa izin harus diminta langsung kepada pencipta sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan hak cipta, namun sebagian musisi menilai aturan ini memberatkan dan dapat menghambat kreativitas serta efektivitas pertunjukan, yang pada akhirnya juga berdampak pada aspek bisnis dan pendapatan.
Kisruh royalti ini memperlihatkan bahwa industri musik Indonesia sedang berada di persimpangan antara perlindungan hak cipta dan kebutuhan bisnis yang fleksibel. Untuk itu, dialog konstruktif antara AKSI, VISI, LMK, pemerintah, dan pelaku industri harus terus dijalankan agar tercipta sistem royalti yang adil, transparan, dan mendukung pertumbuhan bisnis musik secara berkelanjutan.
Dengan penyelesaian yang tepat, industri musik Indonesia dapat tumbuh lebih sehat, memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar, dan tetap menghargai karya serta kreativitas para pencipta lagu sebagai aset bisnis yang sangat berharga.
Ilustrasi dibuat dengan menggunakan aplikasi AI Freepik - prompt by Bizsense