Fenomena Pencarian Uang melalui Paylater: Antara Solusi Instan dan Jerat Risiko

Di tengah kebutuhan akan uang tunai yang mendesak, muncul sebuah praktik unik di kalangan masyarakat belakangan ini: memanfaatkan layanan paylater untuk membeli smartphone secara cicilan, lalu menjualnya kembali dalam keadaan masih tersegel dengan harga lebih rendah.

Aryo Meidianto

4/17/20252 min read

Di tengah kebutuhan akan uang tunai yang mendesak, muncul sebuah praktik unik di kalangan masyarakat belakangan ini: memanfaatkan layanan paylater 1 untuk membeli smartphone secara cicilan, lalu menjualnya kembali dalam keadaan masih tersegel dengan harga lebih rendah. Tujuannya sederhana mengubah limit kredit paylater menjadi uang tunai yang bisa langsung digunakan. Bizsense melihat praktik seperti ini sering dianggap masyarakat sebagai jalan pintas mengatasi masalah likuiditas, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses ke pinjaman konvensional atau dana darurat. Namun, di balik klaim "solusi instan" ini, tersimpan pertanyaan mendasar: Seberapa menguntungkan strategi ini? Apa konsekuensi jangka panjang yang mungkin muncul?

Mekanisme dan "Keuntungan" Semu

Prosesnya terlihat mudah. Seseorang membeli smartphone kelas flagship 2 menggunakan fasilitas paylater, memilih tenor cicilan yang terjangkau, lalu menjual ponsel tersebut ke pasar biasanya melalui platform e-commerce atau langsung ke toko gadget dengan harga 10-30% lebih murah dari harga resmi. Meski dijual lebih rendah, penjual tetap mendapatkan uang tunai secara langsung, sementara cicilan paylater akan dibayar secara bertahap. Di sini, "keuntungan" yang dirasakan bersifat subjektif: uang tunai bisa digunakan untuk kebutuhan mendesak seperti biaya kesehatan, utang yang jatuh tempo, atau modal usaha kecil-kecilan. Bagi sebagian orang, ini dianggap lebih fleksibel daripada mengajukan pinjaman bank yang prosesnya rumit dan memakan waktu yang cukup lama.

Namun, jika ditelisik lebih dalam, logika bisnis di balik praktik ini justru bermasalah. Gambarannya seperti berikut, seseorang membeli smartphone seharga Rp15 juta via paylater dengan tenor 12 bulan dan bunga 3% per bulan. Total yang harus dibayar oleh orang tersebut nantinya adalah sekitar Rp20,4 juta. Jika ponsel itu dijual seharga Rp13 juta (rugi Rp2 juta dari harga beli), uang tunai yang diterima justru tidak akan menutup total kewajiban cicilan. Belum lagi risiko penurunan harga pasar jika ada produk baru yang diluncurkan, atau kesulitan menemukan pembeli yang mau membeli dengan harga mendekati wajar. Pada akhirnya, kerugian finansial hampir pasti terjadi.

Dampak dan Risiko yang Mengintai

Meski memberi uang tunai seperti playlater menjadi solusi instan, praktik ini menyimpan konsekuensi serius. Pertama, beban utang bertambah akibat bunga paylater yang umumnya tinggi (bisa mencapai 30-40% per tahun). Jika uang tunai hasil penjualan tidak digunakan untuk hal produktif, cicilan justru menjadi beban baru yang memperparah kondisi keuangan. Kedua, penurunan skor kredit jika terjadi keterlambatan pembayaran. Ini bisa menyulitkan pengajuan kredit di masa depan, seperti KPR atau Kredit Kendaraan. Ketiga, risiko penipuan, seperti pembeli yang mengklaim barang tidak asli atau bermasalah, meski kemasan masih tersegel.

Tak hanya itu, praktik ini juga menuai kritik secara etis. Banyak penyedia paylater melarang penggunaan limit mereka untuk transaksi spekulatif atau komersial. Pelanggaran ketentuan ini berpotensi mengakibatkan pembekuan akun atau tuntutan hukum. Di sisi lain, maraknya perilaku ini bisa mendorong inflasi harga smartphone bekas sekaligus mengganggu stabilitas pasar, karena barang baru dijual dalam kondisi "second-hand" tanpa pernah digunakan.

Apakah Ini Bisnis yang Berkelanjutan?

Jawabannya cenderung tidak. Strategi ini lebih mirip solusi sesaat yang justru menciptakan masalah baru. Margin negatif antara harga jual dan total cicilan, ditambah risiko eksternal, membuatnya tidak layak dijadikan model bisnis. Namun, bagi segelintir orang, praktik ini tetap dipilih sebagai opsi terakhir saat terjepit, dengan harapan bisa melunasi hutang sebelum bunga membengkak. Sayangnya, tanpa perencanaan keuangan matang, harapan ini sering berujung pada lingkaran utang yang sulit terputus.

Pada akhirnya, fenomena ini mencerminkan dilema masyarakat di era digital: kemudahan akses kredit vs literasi finansial yang minim. Menurut Bizsense, meski paylater bisa menjadi alat bantu keuangan, penggunaannya harus bijak, bukan untuk spekulasi, apalagi mengejar keuntungan instan yang ilusif.


1 Paylater adalah layanan keuangan yang memungkinkan pengguna membeli barang atau jasa secara kredit, tanpa harus membayar secara langsung. Paylater bisa digunakan saat berbelanja online maupun offline.

2 Flagship adalah sebuah produk inti atau produk unggulan dari suatu perusahaan


Ilustrasi dibuat dengan menggunakan aplikasi AI - prompt by Bizsense