Kartu Kredit: Pisau Bermata Dua di Tengah Krisis Ekonomi
Di tengah ketidakpastian ekonomi yang melanda, di mana pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi ancaman nyata, harga kebutuhan pokok meroket, dan biaya darurat muncul tiba-tiba, credit card (CC) atau kartu kredit sering kali dianggap sebagai "penyelamat".
Aryo Meidianto
4/17/20252 min read


Di tengah ketidakpastian ekonomi yang melanda, di mana pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi ancaman nyata, harga kebutuhan pokok meroket, dan biaya darurat muncul tiba-tiba, credit card (CC) atau kartu kredit sering kali dianggap sebagai "penyelamat". Dengan limit yang tersedia, kartu kredit seolah memberi nafas lega bagi banyak orang: membayar tagihan rumah sakit, membeli bahan makanan, atau menutupi cicilan yang tertunda. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah kartu kredit benar-benar solusi krisis, atau justru bibit masalah baru yang siap meledak?
Kartu kredit pada dasarnya adalah bentuk pinjaman berbunga. Kartu kredit akan memberikan akses instan ke uang yang bukan milik kita, dengan janji pelunasan di kemudian hari. Dalam situasi krisis, ini bisa menjadi penyelamat, seperti ketika seorang ibu tunggal harus membayar biaya sekolah anaknya yang mendesak, atau seorang freelancer yang pendapatannya tertunda karena proyek yang batal. Tanpa kartu kredit, situasi ini mungkin berujung pada utang rentenir dengan bunga yang mencekik. Di sini, kartu kredit berfungsi sebagai alat manajemen arus kas yang fleksibel, terutama jika dimanfaatkan dengan promo cicilan 0% atau cashback yang dapat mengurangi beban pengeluaran.
Namun, di tangan yang salah, kartu kredit bisa berubah menjadi bom waktu. Bunga yang mencapai 2-3% per bulan (atau 24-36% per tahun) adalah jebakan terselubung. Banyak orang terjebak dalam siklus "bayar minimum - utang menumpuk - gali lubang tutup lubang", terutama ketika krisis berlarut-larut. Contoh nyata adalah seorang karyawan yang kehilangan pekerjaan tetapi tetap berbelanja kebutuhan sekunder demi menjaga gaya hidupnya, atau seorang mahasiswa yang tergoda oleh diskon online hingga limitnya habis,tanpa rencana pelunasan yang jelas.
Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa nilai transaksi kartu kredit nasional per September 2024 tumbuh sebesar 11,34% year-on-year (YoY), mencapai Rp37,18 triliun. Volume transaksi juga meningkat signifikan sebesar 17,59% YoY menjadi 39,24 juta transaksi. Meskipun demikian, pertumbuhan ini tidak selalu mencerminkan penggunaan yang bijaksana; banyak pengguna terjebak dalam utang akibat kurangnya pemahaman tentang pengelolaan keuangan.
Lalu, di mana letak keuntungan sebenarnya? Kuncinya ada pada disiplin dan literasi finansial. Kartu kredit bisa menjadi solusi krisis jika:
Digunakan untuk kebutuhan mendesak dan produktif (misalnya: biaya medis atau perbaikan kendaraan untuk bekerja).
Pengguna memahami syarat bunga, denda, dan tenggat waktu.
Ada rencana konkret untuk melunasi utang sebelum bunga menggerogoti.
Selain itu, kartu kredit juga menawarkan manfaat non-finansial: membangun riwayat kredit yang baik (berguna untuk pengajuan KPR atau pinjaman usaha), proteksi asuransi saat belanja online, atau akses ke fasilitas lounge bandara saat perjalanan darurat. Namun, semua manfaat ini hanya berarti jika pengguna tidak terjebak dalam utang.
Di sisi lain, kartu kredit sering kali menjadi alat kapitalisme yang memanfaatkan kerentanan psikologis manusia. Iklan-iklan menggoda dengan tawaran "beli sekarang, bayar nanti" atau "limit tambahan instan" menciptakan ilusi bahwa konsumsi adalah solusi atas stres. Padahal dalam kondisi krisis, yang dibutuhkan adalah penghematan dan skala prioritas, bukan tambahan utang.
Jadi, apakah kartu kredit solusi atau masalah? Jawabannya tergantung pada siapa yang memegangnya. Seperti pisau, kartu kredit bisa digunakan untuk memasak makanan bergizi atau melukai diri sendiri. Di tangan yang terampil dan bijak, kartu kredit adalah alat survival. Sebaliknya, di tangan yang ceroboh, kartu tersebut merupakan “undangan” menuju kebangkrutan.
Krisis ekonomi mungkin tak bisa dihindari, tetapi krisis utang bisa. Selama kita tidak menganggap kartu kredit sebagai "uang gratis", melainkan "utang yang harus dipertanggungjawabkan", maka ia bisa menjadi sekutu dalam mengatasi kesulitan finansial di tengah badai ekonomi.
Ilustrasi dibuat dengan menggunakan aplikasi AI - prompt by Bizsense