Mengungkap Alasan dan Potensi Bisnis di Balik Impor Sampah Indonesia
Indonesia telah lama menjadi sorotan dunia sebagai salah satu negara pengimpor sampah terbesar, khususnya sampah plastik dan kertas. Pada tahun 2020, Indonesia tercatat menempati peringkat ketujuh dunia dengan volume impor mencapai sekitar 234.000 ton sampah plastik, jumlah yang jauh melampaui impor pakaian bekas yang kerap menjadi isu publik.
Aryo Meidianto
6/19/20252 min read


Indonesia telah lama menjadi sorotan dunia sebagai salah satu negara pengimpor sampah terbesar, khususnya sampah plastik dan kertas. Pada tahun 2020, Indonesia tercatat menempati peringkat ketujuh dunia dengan volume impor mencapai sekitar 234.000 ton sampah plastik, jumlah yang jauh melampaui impor pakaian bekas yang kerap menjadi isu publik. Fenomena ini bukan sekadar permasalahan lingkungan, melainkan juga terkait erat dengan kebutuhan industri, dinamika ekonomi global, serta celah regulasi yang masih longgar.
Salah satu alasan utama Indonesia terus mengimpor sampah adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri daur ulang domestik, khususnya pabrik pengolahan plastik dan kertas. Industri dalam negeri masih kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku berkualitas dari sampah domestik karena sistem pemilahan sampah yang belum optimal. Sampah domestik Indonesia umumnya tercampur dan sulit didaur ulang secara efisien, sehingga pabrik lebih memilih bahan baku impor yang sudah terpilah dan siap diolah. Selain itu, biaya pengelolaan sampah di Indonesia jauh lebih murah dibandingkan negara-negara maju, yang dihadapkan pada regulasi lingkungan ketat dan biaya tinggi untuk pengolahan limbah. Hal ini membuat Indonesia menjadi tujuan favorit bagi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat untuk mengekspor sampah mereka, sebagai solusi atas keterbatasan fasilitas pengolahan dan tingginya biaya di negara asal.
Dari perspektif bisnis, impor sampah menawarkan potensi ekonomi yang signifikan. Sampah plastik, kertas, dan logam yang diimpor dapat diolah menjadi bahan baku industri manufaktur dengan harga jauh lebih rendah dibandingkan bahan baku baru. Industri daur ulang di Indonesia telah menyerap jutaan tenaga kerja, mulai dari pemulung hingga pekerja pabrik, serta menciptakan ekosistem ekonomi sirkuler yang bernilai tambah. Beberapa perusahaan bahkan mampu mengolah sampah plastik menjadi produk bernilai tinggi seperti bahan bakar minyak, memperluas peluang inovasi dan diversifikasi bisnis. Selain itu, pemerintah juga dapat memperoleh tambahan penerimaan negara melalui pungutan bea masuk atas impor sampah.
Namun, di balik peluang bisnis tersebut, terdapat tantangan besar yang harus dihadapi. Lemahnya regulasi dan pengawasan membuat Indonesia rentan menjadi “tempat pembuangan” sampah dunia, termasuk limbah berbahaya yang tidak sesuai perjanjian. Banyak kasus di mana sampah impor ternyata mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3), serta tidak seluruhnya dapat didaur ulang sehingga akhirnya menambah beban lingkungan dan kesehatan masyarakat. Kontroversi ini semakin tajam setelah China, yang sebelumnya menjadi tujuan utama ekspor sampah dunia, membatasi impor sejak 2018, sehingga arus sampah global beralih ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pada akhirnya, meski impor sampah masih menjadi solusi pragmatis bagi kebutuhan industri daur ulang dan membuka peluang bisnis baru, Indonesia harus menyeimbangkan antara potensi ekonomi dan risiko lingkungan yang mengintai. Penguatan regulasi, peningkatan kapasitas pengelolaan sampah domestik, serta inovasi dalam daur ulang menjadi kunci agar Indonesia tidak sekadar menjadi “tempat pembuangan” dunia, melainkan mampu mengubah tantangan ini menjadi peluang bisnis berkelanjutan yang ramah lingkungan dan berdaya saing global.
Ilustrasi sampah dibuat dengan menggunakan AI - prompt by Bizsense Indonesia