Minyakita: Janji Satu Liter, Realita 750 ml!

Minyakita, merek minyak goreng kemasan yang diluncurkan pemerintah pada Juli 2022 sebagai bagian dari upaya stabilisasi harga, belakangan menjadi sorotan publik. Alih-alih menjadi solusi bagi masyarakat, Minyakita justru menuai kontroversi.

Aryo Meidianto

3/12/20253 min read

Minyakita, merek minyak goreng kemasan yang diluncurkan pemerintah pada Juli 2022 sebagai bagian dari upaya stabilisasi harga, belakangan menjadi sorotan publik. Alih-alih menjadi solusi bagi masyarakat, Minyakita justru menuai kontroversi. Salah satu masalah utama adalah volume minyak yang tidak sesuai dengan label di kemasannya. Awalnya, Minyakita dijual dalam kemasan satu liter dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14.000/liter. Peluncuran Minyakita bertujuan agar memudahkan masyarakat dalam membeli minyak goreng dengan harga terjangkau dengan kemasan sederhana.

Sayangnya, banyak konsumen menemukan bahwa isi bersih Minyakita ternyata hanya berkisar antara 750 - 850 mililiter (ml). Selain itu, ada temuan bahwa Minyakita dijual dengan harga melampaui HET yang ditetapkan pemerintah pada momen puasa dan lebaran 2025 adalah Rp15.700 per liter. Dua masalah ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga berdampak serius terhadap bisnis dan kepercayaan publik.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), minyak goreng adalah salah satu komoditas yang paling sering dikeluhkan masyarakat karena fluktuasi harganya. Ketika pemerintah meluncurkan Minyakita dengan janji harga terjangkau dan ketersediaan yang stabil, harapan masyarakat pun melambung tinggi. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Volume yang tidak sesuai dan harga yang melambung di atas HET membuat konsumen merasa dikhianati. Sebuah survei yang dilakukan oleh Lembaga Konsumen Jakarta menunjukkan bahwa 78% responden merasa kecewa dengan produk Minyakita, dan 65% menyatakan akan beralih ke merek lain jika masalah ini tidak segera diatasi.

Dari sisi bisnis, kontroversi ini memiliki dampak yang signifikan. Pertama, kepercayaan konsumen terhadap merek Minyakita (yang secara tidak langsung, terhadap pemerintah) terkikis. Apabila konsumen tidak mem-blow-up kejadian ini berikut dengan bukti dan kemudian menjadi viral, belum tentu pemerintah bergerak cepat. Menurut Philip Kotler, pakar pemasaran ternama, "Kepercayaan adalah fondasi dari setiap hubungan bisnis. Jika kepercayaan hilang, sangat sulit untuk memulihkannya." Dalam kasus Minyakita, konsumen yang merasa dirugikan tidak hanya akan meninggalkan merek tersebut, tetapi juga mungkin menyebarkan pengalaman negatif mereka melalui mulut ke mulut atau media sosial. Hal ini bisa memperburuk citra merek dan mengurangi penjualan di masa depan.

Kedua, pelanggaran terhadap HET dan ketidaksesuaian volume bisa menimbulkan konsekuensi hukum bagi pelaku bisnis. Pemerintah telah menetapkan aturan yang jelas tentang HET dan standar kemasan, dan pelanggaran terhadap aturan ini bisa berujung pada sanksi, mulai dari denda hingga pencabutan izin usaha. Menurut pengamat ekonomi, Faisal Basri, "Pelanggaran seperti ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga merusak tatanan pasar. Jika dibiarkan, bisa memicu ketidakstabilan harga dan merugikan pelaku usaha yang patuh pada aturan."

Ketiga, kontroversi ini bisa mempengaruhi rantai pasok dan hubungan dengan distributor. Jika konsumen kehilangan kepercayaan terhadap Minyakita, permintaan akan produk ini otomatis akan menurun drastis. Akibatnya, distributor dan pengecer mungkin enggan menyimpan stok Minyakita, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan produsen. Menurut data dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), 60% pengecer melaporkan penurunan penjualan Minyakita sejak kontroversi ini mencuat. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini tidak hanya berdampak pada konsumen, tetapi juga pada seluruh rantai pasok. Meski pemerintah melalui Satgas Pangan Polri telah mengidentifikasi tiga perusahaan yang mencurangi isi Minyakita dan menarik kemasan 1L, konsumen terlanjur kecewa.

Di sisi lain, kontroversi Minyakita juga membuka peluang bagi merek-merek minyak goreng lain untuk mengambil alih pasar. Bizsense memprediksi, konsumen yang kecewa dengan Minyakita mungkin akan beralih ke merek minyak goreng lain yang dianggap lebih transparan dan dapat dipercaya.

Namun, dampak terbesar dari kontroversi ini mungkin adalah erosi kepercayaan publik terhadap program pemerintah. Minyakita diluncurkan sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengendalikan harga minyak goreng dan melindungi konsumen dari kenaikan harga yang tidak wajar. Namun, ketidaksesuaian volume dan pelanggaran HET justru membuat program ini terlihat tidak efektif dan tidak terkontrol. Menurut pengamat kebijakan publik, Andrinof Chaniago, "Ketika program pemerintah gagal memenuhi harapan masyarakat, yang terjadi bukan hanya kekecewaan, tetapi juga hilangnya kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola kebijakan publik."

Pada akhirnya, kontroversi Minyakita adalah pelajaran berharga bagi semua pihak. Bagi pelaku bisnis, hal ini menjadi pengingat bahwa kepatuhan terhadap aturan dan transparansi dalam berbisnis adalah kunci untuk mempertahankan kepercayaan konsumen. Bagi pemerintah, kejadian ini menjadi sinyal bahwa program yang dirancang untuk melindungi masyarakat harus diawasi dengan ketat untuk memastikan implementasinya sesuai dengan tujuan awal. Sementara bagi konsumen, hal ini menjadi pengingat bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pasar melalui pilihan dan suara mereka.

Dari volume yang tidak sesuai hingga harga yang melambung, kontroversi Minyakita telah membuka mata banyak pihak tentang pentingnya integritas dalam bisnis dan kebijakan publik. Jika tidak ditangani dengan baik, dampaknya tidak hanya terasa pada penjualan dan keuntungan, tetapi juga pada kepercayaan publik yang mungkin sulit untuk dipulihkan.