Narasi tentang Konten Food Reviewer: Ulasan Kuliner Dilihat dari Sisi Bisnis dan Etika

Di tengah maraknya konten digital, konten food reviewer menjadi yang paling digemari di platform media sosial seperti YouTube dan Instagram. Food vlogger memiliki peran penting dalam membentuk persepsi publik terhadap suatu produk atau merek makanan.

Aryo Meidianto

3/11/20253 min read

(Instagram Awi Rachma, Codeblu dan Tasyi Athasyia)
(Instagram Awi Rachma, Codeblu dan Tasyi Athasyia)

Di tengah maraknya konten digital, food review atau ulasan makanan telah menjadi salah satu konten yang paling digemari di platform media sosial seperti YouTube dan Instagram. Food reviewer 1 atau food vlogger memiliki peran penting dalam membentuk persepsi publik terhadap suatu produk atau merek makanan. Namun, belakangan ini, muncul berbagai kontroversi terkait cara para food reviewer memberikan ulasan, terutama yang dianggap terlalu keras bahkan cenderung menghina.

Salah satu contoh yang mencuat adalah komentar dari food vlogger Tasyi yang dinilai mirip dengan gaya "codeblue" dengan berbagai komentar pedas dan provokatif. Ulasannya tentang Indomie Aceh yang disebut "bau kalajengking" dan Bika Ambon yang "keras seperti sabun" memicu reaksi beragam, termasuk dari artis seperti Niki Tirta yang turut memberikan komentar. Namun yang terjadi kemudian, Niki justru dilaporkan oleh Tasyi. Kejadian ini menjadi cermin betapa sensitifnya dunia food review dan dampaknya terhadap bisnis makanan.

Dampak dari ulasan yang terlalu keras atau provokatif tidak bisa dianggap remeh. Bagi pelaku bisnis, terutama UMKM, ulasan negatif yang viral bisa langsung mempengaruhi penjualan dan reputasi merek. Padahal, rasa makanan adalah hal yang subjektif. Apa yang tidak disukai oleh satu orang, mungkin justru disukai oleh orang lain. Ketika seorang food vlogger menyebut suatu produk "bau kalajengking" atau "keras seperti sabun", hal itu bisa langsung mempengaruhi persepsi konsumen yang belum pernah mencoba produk tersebut. Akibatnya, penjualan bisa menurun drastis, dan reputasi merek yang telah dibangun bertahun-tahun bisa hancur dalam sekejap.

Di sisi lain, hubungan antara food reviewer dan pelaku bisnis juga bisa menjadi tegang akibat ulasan yang tidak proporsional. Padahal, kolaborasi yang baik antara kedua pihak sebenarnya bisa saling menguntungkan. Food reviewer membutuhkan konten menarik untuk audiensnya, sementara pelaku bisnis membutuhkan eksposur positif untuk produk mereka. Namun, ketika ulasan terlalu keras atau dianggap menghina, hubungan keduanya ini bisa rusak dalam sekejap. Contohnya, ketika Niki Tirta memberikan komentar terhadap ulasan Tasyi, justru dilaporkan. Hal ini menunjukkan betapa rumitnya dinamika antara food reviewer dan pelaku bisnis.

Selain Tasyi Athasyia, dunia kuliner di Indonesia juga sempat direpotkan dengan dua sosok food reviewer kontroversial lain yakni Awi Rachma - seorang kreator konten TikTok dan William Anderson alias Codeblu. Mereka bertiga menjadi sasaran hujatan lantaran dituding menjatuhkan usaha kuliner milik orang lain. Alih-alih memberikan dampak positif bagi pemilik usaha kuliner, justru ketiga food reviewer tersebut menjelek-jelekkan produk kuliner yang ada.

Lalu, bagaimana seharusnya pelaku bisnis menyikapi ulasan yang dianggap tidak fair atau terlalu keras? Pertama, tetap bersikap profesional adalah kunci. Ketika menerima ulasan negatif, terutama yang dianggap tidak proporsional, pelaku bisnis sebaiknya menghindari konflik langsung di media sosial. Alih-alih melawan, lebih baik merespons dengan sopan dan menawarkan solusi, seperti mengundang reviewer untuk mencoba produk lagi atau menjelaskan proses pembuatan produk. Kedua, ulasan negatif, sekalipun keras, bisa menjadi bahan introspeksi. Pelaku bisnis bisa memanfaatkannya untuk memperbaiki kualitas produk atau layanan.

Selain itu, membangun hubungan baik dengan food reviewer juga bisa menjadi strategi jangka panjang. Misalnya, dengan mengundang mereka untuk mencoba produk secara langsung atau memberikan informasi yang lebih detail tentang produk. Hal ini bisa membantu reviewer memberikan ulasan yang lebih objektif dan fair. Namun, jika ulasan dianggap sudah melanggar batas, seperti mengandung penghinaan atau fitnah, maka pelaku bisnis bisa mempertimbangkan langkah hukum. Meskipun demikian, ini sebaiknya menjadi upaya terakhir setelah semua cara damai ditempuh.

Di sisi lain, food reviewer juga perlu menjaga etika dalam memberikan ulasan. Pertama, menjaga objektivitas dan proporsionalitas adalah hal penting. Menyampaikan ketidaksukaan terhadap suatu produk itu wajar, tetapi harus dilakukan dengan cara yang sopan dan tidak menghina. Kedua, menghindari ulasan yang provokatif juga perlu diperhatikan. Ulasan seperti menyebut makanan "bau kalajengking" atau "keras seperti sabun" hanya akan menimbulkan kontroversi dan tidak memberikan nilai tambah bagi audiens. Sebaiknya, reviewer fokus pada deskripsi rasa, tekstur, dan pengalaman secara umum. Ketiga, menghargai usaha pelaku bisnis juga penting. Di balik setiap produk makanan, ada usaha dan kerja keras dari pelaku bisnis. Food reviewer sebaiknya menghargai hal ini dan memberikan ulasan yang konstruktif, bukan destruktif.

Pengulas makanan dapat menjadi saluran yang berharga untuk mendukung pertumbuhan bisnis kuliner Anda dan meraih kesuksesan. Dengan memilih pengulas makanan yang sesuai dan menggunakan strategi yang efektif, Anda bisa memperbesar kesadaran merek, membangun kredibilitas, mendapatkan umpan balik yang berharga, menjangkau pasar target baru, serta meningkatkan penjualan.

Pada akhirnya, konten food review memiliki pengaruh besar terhadap bisnis makanan, baik secara positif maupun negatif. Oleh karena itu, baik pelaku bisnis maupun food reviewer perlu bersikap bijak. Pelaku bisnis harus tetap profesional dan memanfaatkan ulasan untuk perbaikan, sementara food reviewer harus menjaga etika dan objektivitas dalam memberikan ulasan. Dengan begitu, hubungan antara kedua pihak bisa saling menguntungkan dan memberikan nilai positif bagi audiens. Dunia food review seharusnya menjadi ruang untuk berbagi pengalaman dan informasi, bukan ajang saling menjatuhkan.



1 Food Reviewer seorang kritikus makanan terkadang juga dikenal sebagai pengulas makanan, penulis makanan, jurnalis makanan, blogger makanan, atau kritikus restoran. Mereka mengunjungi tempat makan untuk menguji dan menganalisis berbagai hidangan dan minuman untuk mengetahui rasa, kualitas, ukuran porsi, dan penyajiannya.

Foto dari kiri ke kanan: Instagram Awi Rachma, Codeblu dan Tasyi Athasyia