Pajak 0,5% untuk UMKM: Tantangan Baru dalam Era Digitalisasi Pajak

Pemerintah tengah merancang kebijakan baru yang akan memperluas pungutan pajak sebesar 0,5 persen tidak hanya untuk pelaku usaha di platform e-commerce, tetapi juga untuk para pedagang offline atau UMKM.

Aryo Meidianto

7/9/20252 min read

Pemerintah tengah merancang kebijakan baru yang akan memperluas pungutan pajak sebesar 0,5 persen tidak hanya untuk pelaku usaha di platform e-commerce, tetapi juga untuk para pedagang offline. Kebijakan ini merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 yang kini diperbarui menjadi PP Nomor 55 Tahun 2022. Inti dari peraturan ini adalah pengenaan pajak penghasilan final sebesar 0,5 persen dari omzet usaha, yang menyoroti omzet sebagai dasar pengenaan pajak bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Langkah pemerintah ini bertujuan untuk memperluas basis pajak sekaligus mendorong formalitas usaha yang selama ini masih didominasi oleh sektor informal, terutama di kalangan pedagang offline. Dengan memasukkan pedagang offline ke dalam skema pajak yang sama dengan pelaku usaha online, pemerintah berharap dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan merata, sekaligus meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani UMKM secara berlebihan.

Namun, kebijakan ini juga membawa tantangan tersendiri bagi UMKM. Sebagian besar UMKM, khususnya yang beroperasi secara offline, masih menghadapi keterbatasan dalam hal pencatatan keuangan dan pemahaman terhadap kewajiban perpajakan. Pengenaan pajak 0,5 persen dari omzet, meskipun terbilang rendah, tetap menjadi beban tambahan yang harus diperhitungkan dalam pengelolaan keuangan usaha. Bagi UMKM dengan margin keuntungan tipis, tambahan biaya pajak ini berpotensi menggerus keuntungan dan mempengaruhi daya saing mereka di pasar yang semakin kompetitif.

Di sisi lain, kebijakan ini juga dapat menjadi stimulus positif bagi UMKM untuk bertransformasi menjadi lebih formal dan profesional. Dengan masuk ke dalam sistem perpajakan yang jelas, UMKM berpeluang mendapatkan akses ke berbagai insentif dan kemudahan, seperti kredit usaha, pelatihan, dan perlindungan hukum. Selain itu, pendataan yang lebih baik melalui pelaporan pajak dapat membantu pemerintah merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk mendukung pengembangan UMKM.

Penting untuk dicatat bahwa PP No.55 Tahun 2022 mengatur batasan omzet maksimal sebesar Rp4,8 miliar per tahun bagi UMKM yang dikenai tarif pajak final 0,5 persen. Hal ini memberikan ruang bagi usaha kecil untuk tetap tumbuh tanpa beban pajak yang terlalu besar. Namun, bagi pelaku usaha yang belum terbiasa dengan administrasi perpajakan, pemerintah perlu menyediakan edukasi dan pendampingan agar implementasi kebijakan ini berjalan efektif tanpa memberatkan.

Lebih jauh, kebijakan ini juga berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam mendorong digitalisasi sistem perpajakan. Dengan semakin banyak UMKM yang terintegrasi ke dalam sistem pajak, diharapkan data transaksi usaha dapat terpantau dengan lebih baik, sehingga potensi kebocoran pajak dapat diminimalisir. Namun, transisi ini harus dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan pelaku UMKM, terutama yang masih beroperasi secara tradisional.

Dampak ekonomi dari kebijakan ini tentu akan beragam. Di satu sisi, penerimaan pajak yang meningkat dapat memperkuat basis fiskal negara untuk membiayai pembangunan dan program sosial. Di sisi lain, UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional harus mampu beradaptasi agar tidak mengalami tekanan yang berlebihan. Keseimbangan antara kepentingan fiskal dan keberlangsungan usaha menjadi kunci utama agar kebijakan ini dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi perekonomian Indonesia.

Ilustrasi dibuat dengan menggunakan aplikasi AI - prompt by Bizsense Indonesia