Perang Dagang AS-China 2025: Intel Terpukul, Boeing Tersungkur, dan Kebangkitan Teknologi China

Sejak awal 2018, hubungan dagang Amerika Serikat (AS) - China telah mengalami dinamika yang sangat kompleks. Namun, eskalasi signifikan terjadi pada tahun 2025 ketika pemerintahan Presiden AS Donald Trump kembali mengambil langkah drastis menaikkan tarif impor barang-barang dari China.

Aryo Meidianto

4/21/20253 min read

Sejak awal 2018, hubungan dagang Amerika Serikat (AS) - China telah mengalami dinamika yang sangat kompleks. Namun, eskalasi signifikan terjadi pada tahun 2025 ketika pemerintahan Presiden AS Donald Trump kembali mengambil langkah drastis menaikkan tarif impor barang-barang dari China. Pada kuartal pertama 2025, tarif efektif rata-rata yang dikenakan AS terhadap produk China melonjak dari sekitar 2,5% menjadi 27%, dan pada April 2025 tarif ini mencapai puncak ekstrem hingga 145% untuk produk tertentu. Langkah ini merupakan bagian dari strategi "America First" yang diperkuat kembali, dengan tujuan menekan defisit perdagangan dan melindungi industri domestik AS.

Sebagai respons, China membalas dengan menaikkan tarif impor dari AS hingga 125% dan memperketat regulasi terhadap perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di dalam negeri. Konflik ini tidak hanya berdampak pada perdagangan barang, tetapi juga meluas ke sektor teknologi dan semikonduktor yang menjadi tulang punggung industri modern.

Dampak pada Intel dan Konflik Semikonduktor

Intel, sebagai raksasa semikonduktor AS, menjadi salah satu korban paling nyata dari eskalasi ini. Konflik di sektor chip sebenarnya sudah berlangsung sejak perang dagang 2018, namun puncaknya baru terjadi pada April 2025 ketika pemerintah China secara resmi melarang lembaga pemerintah dan perusahaan milik negara membeli chip dari Intel, AMD, dan produsen chip AS lainnya. Kebijakan ini, yang dikenal dengan program “Clean Silicon”, menargetkan pengurangan ketergantungan pada teknologi AS dengan mengganti chip impor dengan produk lokal. Target ambisiusnya adalah 80% sistem komputasi pemerintah pusat China menggunakan chip lokal pada kuartal pertama 2026, dan bebas chip AS sepenuhnya pada akhir 2027.

Akibatnya, Intel kehilangan sekitar 27% pendapatannya yang berasal dari pasar China pada 2024, senilai sekitar 22 miliar dolar AS. Nilai pasar Intel anjlok hingga 100 miliar dolar AS dalam 48 jam setelah pengumuman larangan tersebut. Selain itu, Intel menghadapi hambatan ekspor yang makin ketat, termasuk kewajiban mengurus izin khusus untuk mengekspor chip Artificial Intelligence (AI) tertentu ke China sejak April 2025.

Langkah China ini sejalan dengan upaya besar mereka dalam program “Made in China 2025” yang bertujuan meningkatkan kemandirian teknologi dengan investasi besar dalam research and development (R&D) semikonduktor dan manufaktur lokal melalui perusahaan seperti SMIC dan Hua Hong. Pada 2025, kapasitas produksi chip lokal China telah mencapai lebih dari 25% kapasitas global untuk node chip mature (28nm ke atas), meskipun masih tertinggal dari teknologi cutting-edge AS dan Taiwan.

Dampak pada Boeing dan Industri Penerbangan

Selain Intel, Boeing juga merasakan dampak konflik ini. Pada April 2025, China melarang maskapai penerbangan menerima pengiriman pesawat Boeing dan menghentikan impor komponen pesawat buatan AS sebagai balasan atas tarif tinggi AS. Larangan ini mengancam pengiriman 179 pesawat Boeing kepada tiga maskapai utama China antara 2025-2027. Maskapai-maskapai China pun beralih ke COMAC C919, pesawat domestik yang menjadi simbol kebangkitan industri penerbangan China, meskipun masih bergantung pada komponen impor dari AS seperti mesin dan avionik.

Larangan impor komponen AS juga mengganggu pemeliharaan armada Boeing di China, memaksa maskapai mengelola risiko operasional dan biaya pemeliharaan yang meningkat akibat keterbatasan suku cadang.

Dalam jangka pendek, kebijakan tarif dan balasan China menciptakan situasi lose-lose. Intel kehilangan pasar yang menyumbang hampir sepertiga pendapatannya, sementara Boeing menghadapi risiko kehilangan pangsa pasar di pasar penerbangan sipil terbesar kedua dunia. Perusahaan China seperti Huawei dan COMAC mendapat momentum untuk berkembang, meski menghadapi tantangan besar seperti keterbatasan akses chip canggih dan ketergantungan pada komponen impor.

Dalam jangka panjang, China tampak lebih unggul dengan memaksa perusahaan domestik berinovasi dan mengurangi ketergantungan pada teknologi AS. Program “Made in China 2025” telah berhasil meningkatkan kemandirian teknologi, dengan lebih dari 86% target tercapai pada 2024 di berbagai sektor strategis. Namun, AS menghadapi paradoks: tarif yang dimaksudkan untuk melindungi industri domestik justru merugikan perusahaan yang bergantung pada pasar global dan rantai pasok internasional. Kebijakan ini mempercepat decoupling ekonomi yang berisiko mengisolasi perusahaan AS dari rantai pasok dan konsumen terbesar dunia, meski juga mendorong realokasi investasi ke negara-negara seperti Vietnam dan India sebagai upaya diversifikasi risiko.