Sony Honda Mobility Catat Kerugian Rp5,8 Triliun: Pelajaran dari Ambisi Besar di Pasar Mobil Listrik
Kolaborasi ambisius antara dua raksasa Jepang, Sony dan Honda, melalui joint venture Sony Honda Mobility, mengalami tantangan besar yang tercermin dari kerugian operasional tahunan sebesar ¥52 miliar atau sekitar Rp5,8 triliun pada tahun fiskal terbaru.
Aryo Meidianto
7/12/20252 min read


Kolaborasi ambisius antara dua raksasa Jepang, Sony dan Honda, melalui joint venture Sony Honda Mobility, mengalami tantangan besar yang tercermin dari kerugian operasional tahunan sebesar ¥52 miliar atau sekitar Rp5,8 triliun pada tahun fiskal terbaru. Kerugian ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang sudah mencatat defisit ¥20,5 miliar. Angka ini muncul di tengah upaya mereka untuk meluncurkan mobil listrik pertama mereka, AFEELA, yang direncanakan mulai dijual pada tahun 2025 dengan harga premium mulai dari US$89.900.
Kerugian besar yang dialami Sony Honda Mobility sejatinya bukanlah hal yang mengejutkan bagi industri otomotif, khususnya segmen kendaraan listrik (EV). Pengembangan teknologi mobil listrik, terutama yang mengusung fitur canggih seperti sensor gambar dan hiburan digital ala Sony, membutuhkan investasi besar dalam riset, pengembangan perangkat lunak, dan pengujian intensif. Biaya-biaya ini menyumbang porsi signifikan dalam neraca keuangan perusahaan, bahkan sebelum produk resmi meluncur ke pasar.
Selain faktor biaya tinggi, Sony Honda Mobility juga menghadapi tantangan struktural dan pasar yang tidak mudah. Mereka masuk ke segmen EV premium yang sudah didominasi oleh pemain kuat seperti Tesla dan sejumlah produsen mobil asal China. Persaingan ketat ini menuntut inovasi yang tidak hanya canggih secara teknologi, tetapi juga mampu menarik minat konsumen yang semakin kritis dan sensitif terhadap harga. Harga Afeela yang relatif tinggi menjadi tantangan tersendiri untuk meraih pangsa pasar yang cukup besar demi menutup biaya investasi yang sudah dikeluarkan.
Dari sisi Honda, tahun 2025 juga menjadi tahun yang penuh tekanan. Perusahaan ini memproyeksikan penurunan laba operasional yang signifikan akibat kebijakan tarif impor Amerika Serikat dan fluktuasi nilai tukar mata uang. Penundaan pembangunan pabrik EV di Kanada selama dua tahun menambah beban dalam strategi ekspansi global. Kondisi ini memperlihatkan bahwa faktor eksternal seperti kebijakan perdagangan dan dinamika pasar global turut memengaruhi kelangsungan proyek EV Sony Honda Mobility.
Kegagalan finansial sementara ini menjadi pelajaran penting tentang risiko besar yang melekat pada inovasi disruptif di industri otomotif. Kolaborasi Sony dan Honda memang menggabungkan keunggulan masing-masing, yakni keahlian teknologi hiburan dan sensor dari Sony serta pengalaman produksi kendaraan dari Honda. Namun, sinergi ini harus diimbangi dengan strategi bisnis yang matang, pengelolaan biaya yang efisien, dan pemahaman mendalam terhadap kebutuhan pasar yang terus berubah.
Lebih jauh, fenomena ini juga menegaskan bahwa memasuki pasar EV bukanlah sekadar soal teknologi, tetapi juga soal eksekusi bisnis yang tepat waktu dan adaptasi terhadap regulasi serta kondisi geopolitik. Investasi besar yang belum menghasilkan keuntungan dalam jangka pendek adalah risiko yang harus dihadapi, namun keberhasilan jangka panjang sangat bergantung pada kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan strategi dan terus berinovasi.
Ilustrasi mobil AFEELA Sony Honda Mobility EV car (dok. www.shm-afeela.com)