Sritex Bangkrut Namun Peluang Kebangkitan Industri Tekstil Indonesia Masih Ada

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia merupakan salah satu sektor strategis yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional, baik melalui ekspor nonmigas maupun penyerapan tenaga kerja. Salah satu yang menonjol di industri TPT adalah Sritex.

Aryo Meidianto

3/4/20253 min read

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia merupakan salah satu sektor strategis yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional, baik melalui ekspor nonmigas maupun penyerapan tenaga kerja. Sektor ini mempekerjakan hampir 3,87 juta orang pada awal 2024, menyumbang sekitar 20,51 persen dari total tenaga kerja manufaktur. Namun, industri ini menghadapi tantangan besar dalam beberapa tahun terakhir, mulai dari persaingan global, lonjakan impor, hingga dampak pandemi COVID-19 yang melemahkan daya beli domestik dan permintaan ekspor. Salah satu kasus paling mencolok adalah kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) 1, yang pernah menjadi raksasa tekstil nasional sebelum dinyatakan pailit pada 24 Oktober 2024. Berdiri sejak 1966, Sritex terpaksa menyerah 58 tahun kemudian setelah dianggap tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang sejumlah debitur.

Meskipun demikian, peluang untuk kebangkitan sektor tekstil tetap terbuka lebar. Indonesia memiliki populasi besar yang menjadi pasar domestik potensial sekaligus sumber daya manusia produktif. Pemerintah juga terus mendorong revitalisasi sektor ini melalui kebijakan seperti peta jalan Making Indonesia 4.0 dan pengaturan impor untuk melindungi produsen lokal. Pada triwulan III 2024, subsektor tekstil dan pakaian jadi mencatat pertumbuhan tahunan sebesar 7,43 persen, menunjukkan adanya potensi pemulihan meskipun masih dibayangi berbagai tantangan.

Kasus Sritex memberikan pelajaran penting tentang pengelolaan keuangan dan strategi bisnis di tengah tekanan global. Perusahaan ini tumbang akibat hutang yang menumpuk hingga triliunan rupiah, ekspansi agresif tanpa mitigasi risiko yang memadai, serta penurunan permintaan selama pandemi. Selain itu, persaingan dengan negara seperti Vietnam dan Bangladesh yang menawarkan biaya produksi lebih rendah semakin memperburuk posisi Sritex di pasar internasional. Kebangkrutan ini menjadi pengingat bahwa efisiensi operasional, inovasi produk, dan adopsi teknologi Industry 4.0 sangat penting untuk menjaga daya saing.

Di sisi lain, janji presiden Prabowo Subianto untuk menghidupkan kembali Sritex dan mempekerjakan kembali ribuan karyawan menimbulkan harapan sekaligus skeptisisme. Kompleksitas masalah Sritex termasuk utang besar dan persaingan global membutuhkan solusi yang lebih dari sekadar janji politik. Langkah konkret seperti restrukturisasi keuangan perusahaan, diversifikasi produk berbasis inovasi, dan kolaborasi dengan pemerintah untuk menciptakan iklim usaha kondusif sangat diperlukan agar janji tersebut dapat terealisasi.

Karyawan Sritex yang sudah terkena Pemutusan hubungan kerja (PHK), kabarnya akan dipekerjakan kembali, setelah adanya investor yang berminat menyewa aset berupa alat berat milik perusahaan tekstil di Sukoharjo, Jawa Tengah tersebut. Langkah perekrutan ini - meski tidak semua karyawan akan direkrut kembali - sangat dimungkinkan seriring dengan bergantinya nama PT Sri Rejeki Isman (Sritex) ke nama yang diajukan oleh investor yang baru.

Industri tekstil Indonesia masih memiliki prospek cerah jika tantangan utama dapat diatasi melalui strategi yang terintegrasi. Pemanfaatan teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi produksi, perluasan pasar ekspor ke wilayah nontradisional seperti Afrika dan Timur Tengah, serta penguatan rantai pasok domestik dapat menjadi kunci keberhasilan. Dengan kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) nasional yang diproyeksikan mencapai 1,07 persen pada 2025, sektor ini tetap menjadi salah satu pilar utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.

Belajar dari kasus Sritex, perusahaan tekstil harus lebih berhati-hati dalam ekspansi bisnis dan lebih adaptif terhadap dinamika pasar global agar mampu bertahan di tengah tantangan yang semakin kompleks. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menerbitkan aturan baru, yakni Permenperin 5/2024. Aturan itu, dipandang pelaku industri tekstil, dapat memulihkan dan memperkuat industri padat karya tekstil dan produk tekstil (TPT).

Industri TPT juga perlu melakukan investasi dalam mesin-mesin canggih, otomatisasi, dan teknologi digital untuk meningkatkan proses manufaktur mereka serta menghasilkan produk bernilai tinggi. Selain itu, industri juga harus mengembangkan budaya inovasi dan kolaborasi agar dapat menghasilkan pengembangan material, desain, dan teknik produksi baru, sehingga produsen tekstil bisa tetap bersaing di pasar global.

Selain itu, industri TPT juga perlu melakukan diversifikasi penawaran produk. Untuk mengurangi risiko yang muncul dari fluktuasi permintaan dan perubahan tren pasar, perusahaan tekstil Indonesia perlu mendiversifikasi penawaran produk mereka. Diversifikasi produk dengan menciptakan varian baru dibanding hanya berfokus pada produk tekstil tradisional, seperti pakaian dan kain, beralih ke tekstil fungsional yang ditujukan untuk pakaian olahraga dan peralatan outdoor, atau tekstil berkelanjutan yang terbuat dari bahan inovatif.

Teknik ini memungkinkan perusahaan TPT Indonesia untuk mengakses sumber pendapatan yang baru dan memperluas pangsa pasar. Di sisi lain, perusahaan tekstil juga perlu untuk meningkatkan desain dan branding. Kemitraan dan kolaborasi dengan pihak lain dalam rantai nilai tekstil, termasuk dengan pemasok, produsen, pengecer, dan lembaga pemerintah,perlu dilakukan agar industri tekstil Indonesia berjaya di masa depan.


1 Sritex atau PT Sri Rejeki Isman Tbk adalah sebuah perusahaan tekstil yang berkantor pusat di Sukoharjo, Jawa Tengah. Perusahaan ini didirikan oleh Lukminto pada tahun 1966 sebagai perusahaan perdagangan di Pasar Klewer, Solo dengan nama “UD Sri Redjeki”. Sritex sempat disebut sebagai pabrik tekstik terbesar di Asia Tenggara dengan jangkauan ekspor hingga Korea Selatan, Filipina, India, Jerman, dan Tiongkok, serta memiliki klien besar Sritex antara lain H&M, Walmart, K-Mart, dan Jones Apparel. Pada tanggal 21 Oktober 2024, Sritex resmi diputus pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang dan pada tanggal 1 Maret 2025, Sritex resmi tutup dan perusahaan menjadi wewenang kurator.


Ilustrasi dibuat dengan menggunakan aplikasi AI Freepik